Seiring dengan peningkatan penggunaan telepon selular oleh masyarakat, saat ini power bank menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya untuk kebutuhan traveling, bahkan penggunaan power bank kerap dijumpai saat bekerja. Pasalnya, kerapkali kita membaca berita kecelakaan yang diakibatkan oleh ledakan power bank. Untuk itu, dibutuhkan jaminan atas kualitas _power bank_ agar tidak terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi penggunanya.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah berusaha mengantisipasi potensi risiko dari penyalahgunaan power bank dengan menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8785:2019 Bank daya (Power Bank) Ion Lithium – Bagian 1: Persyaratan umum keselamatan, yang mengatur tentang persyaratan keselamatan bank daya jinjing dengan menggunakan baterai sekunder ion litium sebagai penyimpan daya, untuk operasi yang aman. “Power bank yang dicakup dalam ruang lingkup standar ini dibatasi pada jenis tegangan rendah, dengan energi maksimum 160 Wh untuk pengguna akhir,” ujar Direktur Pengembangan Standar Mekanika, Energi, Elektroteknika, Transportasi, dan Teknologi Informasi BSN, Yustinus Kristianto Widiwardono di kantornya, Jakarta pada Jumat (14/2/2020).
SNI 8785:2019 merupakan standar spesifik, khusus power bank yang disusun oleh Komite Teknis 31-01, Elektronika untuk Keperluan Rumah Tangga. “SNI ini bukan adopsi dari standar lain, namun tetap mengacu pada beberapa standar internasional,” ungkap Kristianto. Standar ini menggunakan acuan standar internasional yaitu IEC 62133-2, IEC 60950-1, IEC 60695-11- 10, IEC 60730-1, IEC 62321-8 dan Standar Nasional Indonesia SNI IEC 62321:2015.
Baterai Litium mengandung material kimia yang rawan terbakar. Bila over charge, dapat menimbulkan ledakan karena reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. “Power bank harus memiliki sistem manajemen baterai yang dapat mengendalikan agar tidak terjadi over charging. SNI ini telah mengatur sistem tersebut,” jelas Kristianto.
Dalam SNI 8785:2019, disebutkan juga berbagai persyaratan dalam penandaan power bank, diantaranya kapasitas listrik dalam Ah atau mAh, pencantuman nilai listrik masukan dan pencantuman nilai listrik keluaran. Bila power bank tersebut memiliki masukan/keluaran lebih dari satu porta, maka nilai listrik tiap porta juga harus ditulis. “Dari persyaratan ini, pengguna tidak perlu khawatir adanya ketidaksesuaian antara informasi daya yang dituliskan di power bank dengan kapasitas sebenarnya. Pengguna pun dapat menghitung sendiri apakah power bank yang mereka miliki dapat dibawa saat naik pesawat terbang atau tidak,” tutur Kristianto.
Sebagai informasi, berkaitan dengan adanya potensi risiko bahaya meledak pada power bank, pemerintah telah membuat peraturan tentang ketentuan membawa power bank pada pesawat udara. Dalam Surat Edaran Nomor 015 Tahun 2018 dari Kementerian Perhubungan, dijelaskan bahwa power bank yang diperbolehkan dibawa oleh penumpang adalah power bank dengan daya jam (watt-hour) tidak lebih dari 100 Wh, atau maksimal 160 Wh dengan persetujuan dari Badan Usaha Angkutan Udara dan Perusahaan Angkutan Udara Asing.
SNI ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para produsen power bank untuk meningkatkan kualitas dan keselamatan produknya. Dengan menerapkan SNI 8785:2019, potensi timbulnya risiko bahaya dapat diminimalisir. (IMN)